Aku belajar bahwa menjadi orang tua bukan sesuatu yang mudah. Khususnya menjadi orang tua dengan impian besar dan anak yang sudah besar.

Aku melihat bahwa orang tua dengan mimpi besar yang belum selesai, bisa mewariskan mimpi itu pada anaknya. Dalam bentuk sederhana, yang tak bisa dijalani dengan sederhana: Harapan.

Anak menjadi perpanjangan harapan orang tua atas mimpinya yang tidak tercapai di masanya. Akhirnya, anak tidak lagi terlihat sebagai individu dewasa yang merdeka. Tapi sebagai perpanjangan orang tua. Pribadi orang tua yang lebih muda dan berumur panjang.

Bagaimana rasanya?

Aku melihat bahwa ambisi yang terlalu besar dapat memakan seseorang. Mengubah syukur menjadi tuntutan. Maka, aku pikir, menjadi orang tua yang bersyukur adalah sebuah kemampuan yang tidak bisa didapatkan dengan serta merta.

Kalau nanti aku menjadi orang tua, aku ingin menjadi orang tua yang bersyukur. Bersyukur atas apa pun pilihan yang diambil anak dalam hidupnya. Sejalan atau tidak sejalan, selama masih berada dalam koridor value keluarga, rasanya tidak apa.

Tapi tentu saja ini bukan perkara yang mudah.

Menjadi orang tua yang bersyukur rasanya adalah sebuah kemampuan yang didapat setelah kita mampu menjadi pribadi yang bersyukur. Bersyukur atas apa pun yang terjadi dalam hidup kita. Setelah kita cukup puas dengan kehidupan kita sebelum menjadi orang tua.

Maka syukur pertamaku sederhana saja. Aku bersyukur aku masih belum menjadi seorang ibu. Karena dengan begitu, aku punya waktu untuk belajar mensyukuri hidupku apa adanya.