"Aku Kesepian!" Kataku pada akhirnya. Setengah naik pitam.
Ternyata mengakui kesepian adalah hal yang sulit buatku. Rasanya seperti mengakui kalau aku lemah dan payah. Sama sulitnya dengan membuat pengakuan lainnya. Bahwa hidupku berhenti di pasanganku.
Sebelum menikah, aku terjebak dalam persepsi naif bahwa hidup perempuan menikah terbatas pada suaminya. Bahwa perempuan yang baik adalah yang selalu bersama suaminya. Tidak melebihi suami dalam hal apapun. Setidaknya itu yang kulihat dan aku pahami dari sekitarku.
Perempuan berhenti keluar rumah sendirian, kecuali atas izin dan bersama suaminya. Kupikir pun memang seharusnya seperti itu. Dan aku tidak keberatan sama sekali. Toh sebelum menikah pun seperti itu. Punya orang tua strict parents membuatku tidak terlalu leluasa untuk pergi dan bertemu orang lain.
Tapi siapa sangka pernikahanku tidak seperti itu. Suamiku mengizinkanku bertemu teman kapan saja aku ingin. Mengizinkan aku melakukan hobi dan pekerjaan yang aku suka. Tidak banyak syarat dan ketentuan seperti yang biasa kujalani seumur usiaku.
Perbedaan itu membuatku bingung. Aku pikir, hidup dengan terbatas adalah hal yang wajar setelah menikah. Tanpa sadar, aku mengamini hal ini dan mempersempit duniaku jadi sebatas suami saja. Sementara, suamiku tetap hidup dengan kebebasannya.
Aku merasa diabaikan. Hidupku berhenti di pasanganku, tapi hidupnya tidak berhenti di aku. Aku merasa kesepian. Aku marah. Dan mengutarakannya.
Tapi ternyata suamiku tidak pernah menghendaki aku berhenti di dia. Dia mau aku bebas juga. Melakukan apa yang aku suka. Memiliki pekerjaan dan teman. Memiliki hidupku sendiri.
Lalu aku bingung. Aku merasa seperti burung yang lupa caranya terbang.
Sampai saat ini aku masih bingung tentang memiliki hidupku sendiri, tapi perlahan aku mengizinkan diriku untuk lebih bebas dan lebih mandiri lagi. Satu hal yang pasti, aku bersyukur telah mengutarakannya. Aku bersyukur mengatakan bahwa aku kesepian pada pasanganku. Dan aku bersyukur memiliki pasangan yang membebaskan.